Ketahui Kelompok Anak yang Rentan Mengalami Anemia Zat Besi

img
Ilustrasi anak susah makan.


KOMPAS.com – Tahukah Anda bahwa anemia zat besi atau anemia defisiensi besi (ADB) tak hanya dapat dialami oleh orang dewasa? Anak-anak pun juga berisiko mengalaminya.

Seperti diketahui anemia zat besi adalah kondisi penurunan jumlah sel darah merah atau hemoglobin yang disebabkan kekurangan zat besi.

Hal itu bisa terjadi karena kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi dan tubuh yang tidak bisa optimal menyerap zat besi.

Akibatnya, sistem kekebalan tubuh terganggu. Bahkan, dampak lebih jauh bisa menyebabkan stunting dan IQ rendah.

Dampak yang terjadi bagi remaja bahkan bisa memengaruhi konsentrasi sampai menurunkan prestasi belajar.

Bayi adalah kelompok rentan

Perlu diketahui, bayi rentan mengalami anemia zat besi. Kasus ini bisa disebabkan berbagai faktor, seperti bayi lahir prematur, lahir dengan berat badan rendah, dan ada masalah saat proses pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI).

Orangtua bisa mengenali gejalanya, yakni ketika bayi melakukan aksi gerakan tutup mulut (GTM). Kondisi ini terjadi karena nafsu makan anak menurun. Selain itu, bayi juga biasanya menjadi mudah rewel, sering mengeluh pusing, denyut jantung cepat, kulit terlihat lebih pucat, mudah lelah dan kurang aktif, juga mudah terkena infeksi karena daya tahan tubuh rendah.

Jika mendapati anak mengalami hal itu, sebaiknya generasi bersih dan sehat (genbest) segera menghubungi dokter.

Baca juga: 4 Tes yang Akan Dilakukan Dokter untuk Diagnosis Anemia pada Anak

Perlu diketahui, diagnosis ADB tidak bisa dilakukan secara mandiri di rumah. Bayi harus menjalani serangkaian tes berdasarkan anjuran dokter.

Pemberian suplemen

Jika hasil tes telah menunjukkan bahwa anak mengalami ADB, orangtua dapat memberikannya suplemen. Menurut American Academy of Pediatrics (AAP) berdasarkan skrining universal, penggunaan suplemen zat besi pada bayi bisa dimulai pada usia 4 bulan.

Sementara, menurut Organisasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemberian suplemen zat besi dapat diberikan lebih awal, yakni sejak usia 2-23 bulan, dengan dosis tunggal 2 miligram per kilogram berat badan bayi per hari.

Anjuran WHO tersebut dapat dilakukan terhadap bayi yang lahir dengan berat badan rendah.

Umumnya, bayi dengan kondisi tersebut memang memiliki risiko 10 kali lipat lebih tinggi mengalami defisiensi besi. Bagi bayi prematur dengan berat badan masih dalam taraf aman, anak dapat diberikan suplemen zat besi sekurang-kurangnya pada dosis yang sama hingga usia 12 bulan.

Baca juga: Anemia Saat Hamil Bisa Sebabkan Bayi Lahir Prematur

Hal tersebut mengingat kebutuhan zat besi anak akan terus meningkat selama masa pertumbuhan, dan ia berisiko mengalami defisiensi besi.

Bagi bayi yang lahir dengan berat badan lahir sangat rendah, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan pemberian suplemen zat besi sebanyak 2-4 miligram per kilogram berat badan per hari dengan maksimum 15 miligram per hari.

Adapun durasi waktunya juga lebih awal, yakni sejak usia 1 bulan dan diteruskan hingga ia berusia satu tahun.

Bagi bayi yang lahir pada cukup bulan, biasanya defisiensi besi terjadi ketika mereka memasuki masa-masa akhir ASI eksklusif atau saat masuk periode MPASI. Dianjurkan oleh IDAI, orangtua memberikan suplemen zat besi dengan dosis 2 miligram per kiloram berat badan per hari.

Baca juga: Anak Gemuk Juga Berisiko Stunting

Sebaiknya, pemberian suplemen dimulai sejak usia 6-23 bulan. Namun, harus tetap diingat, pemberian suplemen zat besi ini harus tetap dalam pengawasan dokter, atau berdasarkan anjuran dokter, ya.

Untuk anak yang lebih besar, Anda bisa konsultasi dulu pada dokter untuk mengetahui takaran suplemen yang tepat.

 

Penulis : Tim GenBest.id

ARTIKEL TERKAIT
Kunjungi Genbest.id untuk membaca artikel-artikel lain seputar tumbuh kembang anak